masukkan script iklan disini
Afi Nihaya Faradisa Tuai Kontroversi, Tanggapannya soal Kasus Vanessa Angel Dianggap Rendahkan Istri - Perempuan muda yang dulu menjadi perbincangan karena kasus plagiarisme, Afi Nihaya Faradisa, kembali disorot. Afi mendadak kembali menjadi perbincangan setelah menuliskan pendapatnya tentang kasus dugaan prostitusi online yang menjerat nama dua artis FTV berinisial VA dan AS hingga sempat diperiksa oleh Polda Jatim. Melalui unggahan di Facebooknya, Minggu (6/1/2019), menuliskan sejumlah poin atas kasus tersebut. Pada poin pertama, ia menganalogikan kasus VA ini layaknya hukum pasar pada bidang ekonomi.
Tanggapan saya mengenai kasus prostitusi artis VA yang viral:
Ada permintaan, ada penawaran. Hukum pasar dalam bidang ekonomi pasti seperti itu. Dan VA berhasil melampaui hukum pasar tersebut, dia menciptakan pasarnya sendiri. Dia yang memegang kontrol dan otoritas atas harga, bukan konsumennya.
Saya justru penasaran bagaimana VA membangun value/nilai dirinya, sehingga orang-orang mau membayar tinggi di atas harga pasar reguler. Seperti produk Apple Inc. atau tas Hermes-- kita bisa belajar dari sana.
Padahal, seorang istri saja diberi uang bulanan 10 juta sudah merangkap jadi koki, tukang bersih-bersih, babysitter, dll. Lalu, yang sebenarnya murahan itu siapa? *eh (Makanya, kalau tidak mau dihakimi jangan menghakimi).
Foto /http://solo.tribunnews.com
Pada poin kedua, ia pun menyayangkan aksi para warganet yang berbondong-bondong melakukan bullying pada VA dan AS. Ia juga kecewa kasus tersebut justru viral sebagai bahan candaan.
Masyarakat kita mempunyai mentalitas "holier-than-thou" atau merasa diri lebih suci, lebih superior daripada manusia lain yang kebetulan terbuka aibnya. Karena itulah yang semacam ini bisa viral. Selanjutnya "flawed society" ini akan bergosip, menghujat di akun medsos artis yang bersangkutan, dan membully karena secara tidak sadar itu memberi kepuasan psikologis berupa perasaan "aku lebih baik, lebih bermartabat". Membuat orang lain menjadi bahan bercandaan itu enak.
Pada poin ketiga, ia mengaku kecewa lantaran sejumlah media justru tidak mengaburkan nama-nama kedua wanita yang terjerat kasus prostitusi online tersebut.
Media memanfaatkan momen ini untuk berburu klik, view, dan pembaca dengan cara menyebutkan SECARA LENGKAP nama artis, tapi SAMA SEKALI TIDAK ADA nama laki-lakinya. Padahal, dalam transaksi ada penjual ada pembeli. Saya turut kecewa dengan kualitas jurnalistik yang sangat memihak dan mendiskreditkan perempuan (misoginis), hanya karena cara buruk seperti itu lebih efektif untuk menjaring minat pembaca.
Shame on you! Please reveal both sides, it takes two to tango!
Pada poin terakhir, Afi menyimpulkan soal sejumlah kasus yang selama ini menjerat para perempuan. Mulai dari pelecehan seksual hingga kekerasan di dalam rumah tangga.
Dalam masyarakat kita, memang apa-apa salah perempuan. Pemerkosaan salah perempuan. KDRT salah perempuan. Poligami salah perempuan. Suami selingkuh salah perempuan. Hamil di luar nikah salah perempuan. Prostitusi salah perempuan. Mengapa? Sederhana, karena masyarakat kita masih jahat terhadap perempuan.
Tidak ada kesetaraan gender, literasi sangat rendah, kaum terdidik masih sedikit. Ya begitulah karakteristik negara berkembang yang sakit kronis, penuh pejabat korup, banyak masalah SARA/HAM, kesejahteraan kurang.
Sumber
Tanggapan saya mengenai kasus prostitusi artis VA yang viral:
Ada permintaan, ada penawaran. Hukum pasar dalam bidang ekonomi pasti seperti itu. Dan VA berhasil melampaui hukum pasar tersebut, dia menciptakan pasarnya sendiri. Dia yang memegang kontrol dan otoritas atas harga, bukan konsumennya.
Saya justru penasaran bagaimana VA membangun value/nilai dirinya, sehingga orang-orang mau membayar tinggi di atas harga pasar reguler. Seperti produk Apple Inc. atau tas Hermes-- kita bisa belajar dari sana.
Padahal, seorang istri saja diberi uang bulanan 10 juta sudah merangkap jadi koki, tukang bersih-bersih, babysitter, dll. Lalu, yang sebenarnya murahan itu siapa? *eh (Makanya, kalau tidak mau dihakimi jangan menghakimi).
Foto /http://solo.tribunnews.com
Pada poin kedua, ia pun menyayangkan aksi para warganet yang berbondong-bondong melakukan bullying pada VA dan AS. Ia juga kecewa kasus tersebut justru viral sebagai bahan candaan.
Masyarakat kita mempunyai mentalitas "holier-than-thou" atau merasa diri lebih suci, lebih superior daripada manusia lain yang kebetulan terbuka aibnya. Karena itulah yang semacam ini bisa viral. Selanjutnya "flawed society" ini akan bergosip, menghujat di akun medsos artis yang bersangkutan, dan membully karena secara tidak sadar itu memberi kepuasan psikologis berupa perasaan "aku lebih baik, lebih bermartabat". Membuat orang lain menjadi bahan bercandaan itu enak.
Pada poin ketiga, ia mengaku kecewa lantaran sejumlah media justru tidak mengaburkan nama-nama kedua wanita yang terjerat kasus prostitusi online tersebut.
Media memanfaatkan momen ini untuk berburu klik, view, dan pembaca dengan cara menyebutkan SECARA LENGKAP nama artis, tapi SAMA SEKALI TIDAK ADA nama laki-lakinya. Padahal, dalam transaksi ada penjual ada pembeli. Saya turut kecewa dengan kualitas jurnalistik yang sangat memihak dan mendiskreditkan perempuan (misoginis), hanya karena cara buruk seperti itu lebih efektif untuk menjaring minat pembaca.
Shame on you! Please reveal both sides, it takes two to tango!
Pada poin terakhir, Afi menyimpulkan soal sejumlah kasus yang selama ini menjerat para perempuan. Mulai dari pelecehan seksual hingga kekerasan di dalam rumah tangga.
Dalam masyarakat kita, memang apa-apa salah perempuan. Pemerkosaan salah perempuan. KDRT salah perempuan. Poligami salah perempuan. Suami selingkuh salah perempuan. Hamil di luar nikah salah perempuan. Prostitusi salah perempuan. Mengapa? Sederhana, karena masyarakat kita masih jahat terhadap perempuan.
Tidak ada kesetaraan gender, literasi sangat rendah, kaum terdidik masih sedikit. Ya begitulah karakteristik negara berkembang yang sakit kronis, penuh pejabat korup, banyak masalah SARA/HAM, kesejahteraan kurang.
Sumber